@jaelussyahadat

3.21K 308 18.84K

Listen to this Thread


View original tweet on Twitter

Hide Media

Dari modal elektabilitas cuma 23%, gimana sih caranya sepasang politisi underdog bisa bertarung di kontestasi Pilkada, bahkan menang ngelawan petahana/incumbent? Ini cerita pengalaman gue sebagai seorang anggota tim konsultan politik. UTAS

Sebelum mulai, ada disclaimer dulu kalo utas ini adalah bentuk sharing pengalaman gue untuk satu kasus spesifik yang berhasil. Apa yang kami lakukan itu bisa jadi works juga di kasus lain, tapi bisa juga gak works. Apa yang gue share ini bukan resep universal yang plug and play.

Oke kita mulai ya. Menangin Pilkada itu nomor satu dimulai dari kandidatnya dulu. Kebetulan banget tim gue itu dapet klien yang ideal. Orangnya baik, respectful, gak suka nganggep remeh orang lain. Enak banget kita ngasih saran dan masukan ke beliau. Ini penting buat konsultan.

Beliau punya hubungan yang harmonis sama istri dan anak-anaknya. Emosionalnya juga matang dan mapan; gak suka caper, gak gila hormat. Dia bisa ngendaliin dirinya sendiri. Buat survive di tempat sebrutal politik, ini modal kuat. Jadi poin pertamanya: kepribadian kandidat.

Next adalah sesuatu yang gak bisa ditawar: kemampuan logistik. Buat maju sebagai kepala daerah, modalnya harus cukup. Selain untuk jasa konsultan, kandidat juga perlu alat peraga kampanye kayak billboard, spanduk, kaos, dsb. Belum lagi ongkos transport buat keliling blusukan.

Belum lagi jasa desainer, jasa tim social media, dan yang penting dan mahal adalah jasa lembaga survei. Sesuatu yang berhasil itu dilakukan atas dasar data yang akurat, dan penyedia datanya ya lembaga survei. Hasil survei itu penting buat tau progress yang dikerjakan selama ini.

Buat yang belum tau, hasil survei itu selain ada elektabilitas, ada juga seberapa luas kandidat dikenal (popularitas) dan seberapa kandidat disukai (likeabilitas). Untuk likeabilitas, kandidat perlu jasa konsultan; dan untuk popularitas, kandidat perlu kampanye dan iklan.

Kalo gak bisa bayar ini semua, kayaknya sih susah ya buat menang Pilkada. Jadi poin keduanya adalah: kemampuan logistik. Klien gue aman soal ini. Konsultan juga enak mau rekomendasi sesuatu, karena resourcenya ada. Lanjut poin ketiga, ini berhubungan sama tim pemenangan/timses.

Tim gue itu beda sama tim pemenangan. Tim gue sifatnya konsultan, eksternal, bukan bagian di dalam. Nah di tim pemenangan internal klien, kebetulan banget ketuanya itu sangat amat keren kerjaannya. Dia orang lapangan yang make things happen, and make them happen quickly.

Coba bayangin orang lapangan yang kenal sama banyak pihak, yang tau kalo butuh sesuatu kontaknya ke mana, dan bisa diadain saat itu juga. Gak cuma dia itu super kapabel, beliau dan timnya juga percaya sama tim gue. Hubungan kami harmonis. Tim internal-eksternal gak saling sikut.

Banyak gue denger dari temen-temen konsultan yang lain, kalo ada aja kerjaan mereka yang dipersulit, karena dianggep saingan dan timsesnya mau keliatan paling hebat. Jadi poin ketiganya: timsesnya kompeten dan gak musuhin tim lain yang sama-sama mau menangin kandidat yang sama.

Dari kandidat udah, dari timsesnya udah, nah sekarang dari sisi konsultannya. Gue agak-agak buka rahasia dapur dikit. Gue info dulu kalo bos gue itu adalah Mas @ipangwahid. Jadi mulai dari sini, gue share apa yang gue pelajarin dari Mas Ipang selama kerja untuk/bareng beliau.

Yang menurut gue paling penting yang harus dipunyain sama konsultan itu adalah ✨empati✨. Untuk bisa menang di politik, lo harus bisa berempati sama masyarakat akar rumput (grassroot). Kemampuan berempati sama grassroot ini butuh skill yang beda sama berempati ke temen sendiri.

Mas Ipang ini (sepanjang pengamatan gue) living and breathing grassroot. Dia dengerin musik yang sama sama grassroot, konsumsi konten social media yang sama sama grassroot, dan setiap hari kerjaannya berusaha memahami kira-kira grassroot itu butuhnya apa, suka/gak sukanya apa.

Efeknya apa? Waktu kami rekomendasiin program kampanye ke klien misalnya, ya itu jadi program yang akurat. Programnya memang sesuatu yang masyarakat di sana itu butuh, karena berangkatnya dari posisi yang berusaha ngertiin masyarakatnya. Program yang bottom-up, bukan top-down.

Dan buat yang belum tau, politik itu gak 100% rasional, apalagi dan terutama untuk grassroot. Banyak masyarakat kita yang milih pemimpin mereka dengan alasan emosional. Untuk kalangan yang kayak gini, cara ngajaknya ya appeal to their emotion, bukan malah digoblok-goblokin. https://t.co/PHTNGiTURA

Jadi poin keempatnya: berempati ke grassroot. Bikin kandidat kepala daerah itu gak cuma menarik secara rasional, tapi juga (terutama) menarik secara emosional. Ini juga Mas Ipang pernah share di podcastnya Akbar Faizal.

Berikutnya yang gue pelajarin: jangan kerdilkan pengalaman kerja dalam decision making. Mas Ipang sering bikin decision yang sumbernya dari instingnya, yang kebentuk dari pengalamannya dia ngerjain ginian bertaun-taun. Ini kontras sama budaya tech startups yang ✨data driven✨.

Buat yang belum tau, budaya data driven yang ada di tech startups itu adalah, gak peduli lo seberpengalaman apa, lo gak bisa ambil keputusan berdasarkan insting/pengalaman. Lo harus bikin keputusan berdasarkan data. Ya mungkin ini gak salah, tapi…

…pengalaman kerja itu ada value-nya loh. Gak bisa dinihilkan dan gak dianggep gitu aja. Selama 4 bulan ini, gue ngeliat decision making Mas Ipang itu on point sih, gak cuma akurasinya, tapi juga timing-nya. Misalnya, kapan harus transisi kampanye dari rasional ke emosional.

Gak cuma Mas Ipang-nya aja yang berpengalaman, gue liat semua yang kerja di tim ini tuh skillful dan talented, dan semuanya gila kerja wkwkwk. Weekend tetep kerja, tetap tektokan sama klien. Kayaknya buat mereka, kerja itu bukan sesuatu yang bikin stres, tapi malah refreshing.

Jadi, poin kelima: pengalaman kerja, decision making, dan tim yang kuat. Lanjut poin terakhir, dan ini langsung aja: kami kalo brainstorming itu cukup "brutal". Kalo meeting, semua orang dimintain pendapat, tapi pendapat yang jelek langsung dibuang. Di awal, ini bikin kaget.

Bayangin lo dimintain pendapat, tapi kalo pendapat lo jelek, ya pendapat lo gak dianggep. Buat sebagian orang ini bakal bikin baper dan sakit hati, tapi lama-lama gue ngeliat ini tuh efektif banget. Banyak kepala mikir buat dapetin jawaban terbaik dari satu pertanyaan yang sama.

Akhirnya ya kami semua belajar untuk gak baper, karena ternyata walaupun jawaban lo dibuang, elonya gak dianggep jelek. Lo tetep dimintain pendapat terus, lo dianggep penting untuk terus berpendapat. Jadi poin terakhir: crowdsourcing ide supaya dapet yang terbaik.

Rangkumannya (so far): 1. Kepribadian kandidat 2. Kemampuan logistik 3. Timses kompeten dan gak musuhin konsultan 4. Empati ke grassroot 5. Pengalaman kerja, decision making, dan tim yang kuat 6. Crowdsourcing ide untuk dapetin ide terbaik.

Kayaknya segitu dulu. Thank you udah baca sampe sini, kalo ada pertanyaan silakan diajukan. Kalo aman gue jawab, akan gue jawab. Semoga utasnya bermanfaat. ✌️😁✌️🫰🫰

Dari modal elektabilitas cuma 23%, gimana sih caranya sepasang politisi underdog bisa bertarung di kontestasi Pilkada, bahkan menang ngelawan petahana/incumbent? Ini cerita pengalaman gue sebagai seorang anggota tim konsultan politik. UTASSebelum mulai, ada disclaimer dulu kalo utas ini adalah bentuk sharing pengalaman gue untuk satu kasus spesifik yang berhasil. Apa yang kami lakukan itu bisa jadi works juga di kasus lain, tapi bisa juga gak works. Apa yang gue share ini bukan resep universal yang plug and play.Oke kita mulai ya. Menangin Pilkada itu nomor satu dimulai dari kandidatnya dulu. Kebetulan banget tim gue itu dapet klien yang ideal. Orangnya baik, respectful, gak suka nganggep remeh orang lain. Enak banget kita ngasih saran dan masukan ke beliau. Ini penting buat konsultan.Beliau punya hubungan yang harmonis sama istri dan anak-anaknya. Emosionalnya juga matang dan mapan; gak suka caper, gak gila hormat. Dia bisa ngendaliin dirinya sendiri. Buat survive di tempat sebrutal politik, ini modal kuat. Jadi poin pertamanya: kepribadian kandidat.Next adalah sesuatu yang gak bisa ditawar: kemampuan logistik. Buat maju sebagai kepala daerah, modalnya harus cukup. Selain untuk jasa konsultan, kandidat juga perlu alat peraga kampanye kayak billboard, spanduk, kaos, dsb. Belum lagi ongkos transport buat keliling blusukan.Belum lagi jasa desainer, jasa tim social media, dan yang penting dan mahal adalah jasa lembaga survei. Sesuatu yang berhasil itu dilakukan atas dasar data yang akurat, dan penyedia datanya ya lembaga survei. Hasil survei itu penting buat tau progress yang dikerjakan selama ini.Buat yang belum tau, hasil survei itu selain ada elektabilitas, ada juga seberapa luas kandidat dikenal (popularitas) dan seberapa kandidat disukai (likeabilitas). Untuk likeabilitas, kandidat perlu jasa konsultan; dan untuk popularitas, kandidat perlu kampanye dan iklan. Kalo gak bisa bayar ini semua, kayaknya sih susah ya buat menang Pilkada. Jadi poin keduanya adalah: kemampuan logistik. Klien gue aman soal ini. Konsultan juga enak mau rekomendasi sesuatu, karena resourcenya ada. Lanjut poin ketiga, ini berhubungan sama tim pemenangan/timses.Tim gue itu beda sama tim pemenangan. Tim gue sifatnya konsultan, eksternal, bukan bagian di dalam. Nah di tim pemenangan internal klien, kebetulan banget ketuanya itu sangat amat keren kerjaannya. Dia orang lapangan yang make things happen, and make them happen quickly.Coba bayangin orang lapangan yang kenal sama banyak pihak, yang tau kalo butuh sesuatu kontaknya ke mana, dan bisa diadain saat itu juga. Gak cuma dia itu super kapabel, beliau dan timnya juga percaya sama tim gue. Hubungan kami harmonis. Tim internal-eksternal gak saling sikut.Banyak gue denger dari temen-temen konsultan yang lain, kalo ada aja kerjaan mereka yang dipersulit, karena dianggep saingan dan timsesnya mau keliatan paling hebat. Jadi poin ketiganya: timsesnya kompeten dan gak musuhin tim lain yang sama-sama mau menangin kandidat yang sama.Dari kandidat udah, dari timsesnya udah, nah sekarang dari sisi konsultannya. Gue agak-agak buka rahasia dapur dikit. Gue info dulu kalo bos gue itu adalah Mas @ipangwahid. Jadi mulai dari sini, gue share apa yang gue pelajarin dari Mas Ipang selama kerja untuk/bareng beliau.Yang menurut gue paling penting yang harus dipunyain sama konsultan itu adalah ✨empati✨. Untuk bisa menang di politik, lo harus bisa berempati sama masyarakat akar rumput (grassroot). Kemampuan berempati sama grassroot ini butuh skill yang beda sama berempati ke temen sendiri.Mas Ipang ini (sepanjang pengamatan gue) living and breathing grassroot. Dia dengerin musik yang sama sama grassroot, konsumsi konten social media yang sama sama grassroot, dan setiap hari kerjaannya berusaha memahami kira-kira grassroot itu butuhnya apa, suka/gak sukanya apa.Efeknya apa? Waktu kami rekomendasiin program kampanye ke klien misalnya, ya itu jadi program yang akurat. Programnya memang sesuatu yang masyarakat di sana itu butuh, karena berangkatnya dari posisi yang berusaha ngertiin masyarakatnya. Program yang bottom-up, bukan top-down.Dan buat yang belum tau, politik itu gak 100% rasional, apalagi dan terutama untuk grassroot. Banyak masyarakat kita yang milih pemimpin mereka dengan alasan emosional. Untuk kalangan yang kayak gini, cara ngajaknya ya appeal to their emotion, bukan malah digoblok-goblokin. https://t.co/PHTNGiTURAJadi poin keempatnya: berempati ke grassroot. Bikin kandidat kepala daerah itu gak cuma menarik secara rasional, tapi juga (terutama) menarik secara emosional. Ini juga Mas Ipang pernah share di podcastnya Akbar Faizal. Berikutnya yang gue pelajarin: jangan kerdilkan pengalaman kerja dalam decision making. Mas Ipang sering bikin decision yang sumbernya dari instingnya, yang kebentuk dari pengalamannya dia ngerjain ginian bertaun-taun. Ini kontras sama budaya tech startups yang ✨data driven✨.Buat yang belum tau, budaya data driven yang ada di tech startups itu adalah, gak peduli lo seberpengalaman apa, lo gak bisa ambil keputusan berdasarkan insting/pengalaman. Lo harus bikin keputusan berdasarkan data. Ya mungkin ini gak salah, tapi……pengalaman kerja itu ada value-nya loh. Gak bisa dinihilkan dan gak dianggep gitu aja. Selama 4 bulan ini, gue ngeliat decision making Mas Ipang itu on point sih, gak cuma akurasinya, tapi juga timing-nya. Misalnya, kapan harus transisi kampanye dari rasional ke emosional.Gak cuma Mas Ipang-nya aja yang berpengalaman, gue liat semua yang kerja di tim ini tuh skillful dan talented, dan semuanya gila kerja wkwkwk. Weekend tetep kerja, tetap tektokan sama klien. Kayaknya buat mereka, kerja itu bukan sesuatu yang bikin stres, tapi malah refreshing.Jadi, poin kelima: pengalaman kerja, decision making, dan tim yang kuat. Lanjut poin terakhir, dan ini langsung aja: kami kalo brainstorming itu cukup "brutal". Kalo meeting, semua orang dimintain pendapat, tapi pendapat yang jelek langsung dibuang. Di awal, ini bikin kaget.Bayangin lo dimintain pendapat, tapi kalo pendapat lo jelek, ya pendapat lo gak dianggep. Buat sebagian orang ini bakal bikin baper dan sakit hati, tapi lama-lama gue ngeliat ini tuh efektif banget. Banyak kepala mikir buat dapetin jawaban terbaik dari satu pertanyaan yang sama.Akhirnya ya kami semua belajar untuk gak baper, karena ternyata walaupun jawaban lo dibuang, elonya gak dianggep jelek. Lo tetep dimintain pendapat terus, lo dianggep penting untuk terus berpendapat. Jadi poin terakhir: crowdsourcing ide supaya dapet yang terbaik.Rangkumannya (so far): 1. Kepribadian kandidat 2. Kemampuan logistik 3. Timses kompeten dan gak musuhin konsultan 4. Empati ke grassroot 5. Pengalaman kerja, decision making, dan tim yang kuat 6. Crowdsourcing ide untuk dapetin ide terbaik.Kayaknya segitu dulu. Thank you udah baca sampe sini, kalo ada pertanyaan silakan diajukan. Kalo aman gue jawab, akan gue jawab. Semoga utasnya bermanfaat. ✌️😁✌️🫰🫰

Unroll Another Tweet

Use Our Twitter Bot to Unroll a Thread

  1. 1 Give us a follow on Twitter. follow us
  2. 2 Drop a comment, mentioning us @unrollnow on the thread you want to Unroll.
  3. 3Wait For Some Time, We will reply to your comment with Unroll Link.